Yang Hilang Dari Negeriku


Pemandangan yang lazim disaksikan tempo dulu. Dikala anak-anak murid mau memasuki sekolah tempat menimba ilmu. Mereka melewati pintu depan yg sudah ditunggu oleh tuan guru. Semua berjalan menunduk sebagai bentuk hormat dan “ngajeni” kepada yang lebih tua.

Berjalan membungkuk bukan hanya sekedar tata cara penghormatan. Tapi juga sebuah simbol mau merendahkan diri kepada manusia lain yang dinilai lebih berat “isinya”. Bisa ilmunya, bisa usianya, atau bisa karena maqom (kedudukan) nya.

Namun sekarang itu nampaknya sudah mulai hilang dan mungkin hanya tinggal cerita yg bisa dikenang. Sekarang, pendekatan guru sebagai teman terkadang malah kebablasan. Tak ada lagi sikap sungkan. Tak ada lagi ewuh pekewuh kepada sang guru. Karena dianggap teman dan sekedar fasilitator pendidikan.

Ditempeleng, lapor komnas HAM. Kalau murid gagal, guru disalahkan. Saya masih ingat, bagaimana dulu, saya dan kawan-kawan sebaya berlomba menjemput guru kami saat memasuki pagar. Ada yg berebut membawakan sepedanya dan membawakan tasnya. Yang tak kebagian. Tetap bisa berebut untuk urusan salim mencium tangan.

Diperintah guru mengambil kapur adalah sebuah kebanggaan prestisius. Mengunjunginya saat sakit adalah aturan tak tertulis yg membuat para murid bergegas dan berinisiatif patungan lalu membuat rencana untuk mewujudkan.

Gambar tersebut berbicara lebih dari sekedar tata krama. Tapi juga sebuah kesiapan menerima. Dan ikrar tanpa kata. “Bahwa kami ingin diajari menjadi manusia”. Semoga kita kembali menjadi bangsa yang tahu tata krama pada yang tua, dan mengerti bahwa menjaga adab dan sopan santun bukanlah bagian dari keprimitifan.

Ditulis oleh:
Andre Raditya